Jumat, 22 Juni 2012

RUMAH BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH

Rumah Tradisional
JAKARTA – Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat Sri Hartoyo menjamin tidak akan ada kenaikan harga rumah sejahtera dalam dua sampai tiga tahun ke depan.
“Kita tidak perlu berandai-andai bila BBM naik atau ada dampak lainnya. Yang pasti dengan adanya revisi harga batasan rumah berdasarkan zona ini dalam 2 sampai 3 tahun ke depan  batasan harga rumah sejahtera tapak akan tetap,” katanya, dalam keterangan resmi Kemenpera, di Jakarta, Rabu (6/6/) lalu.
Sampai saat ini, tambahnnya, penyaluran rumah sejahtera tapak sudah mencapai 10 ribu unit. “Target RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Nasional di tahun ini memang 240 ribu unit rumah. Tapi uang yang ada di Kemenpera hanya bisa membangun 189 ribu unit rumah sejahtera tapak,” tukasnya.
Dia juga mengakui upaya Kemenpera dalam penyediaan rumah sejahatera tapak untuk kalangan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) masih jauh dari harapan. Dari 13,6 juta backlog rumah, hingga 2014 mendatang, Kemenpera baru menjamin bisa membangun 1,350 juta rumah sejahtera tapak untuk MBR.
“Kita harus kerja lebih keras dan terpadu untuk menutupi backlog tersebut. Salah satunya adalah dengan penyesuaian maksimum harga jual rumah sejahtera tersebut. Untuk menyerap backlog itu kan ada di demand dan suplay. Kalau permintaan dan daya beli sudah diperkuat, tapi di pasar tidak ada rumahnya, kan tidak ada daya beli. Karena itu, sisi suplai harus dibenahi supaya di pasar ada rumah,” tutupnya.
Sebelumnya, Kementerian Perumahan Rakyat menetapkan harga baru rumah sejahtera tipe 36 melalui Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) Nomor 07 dan 08 Tahun 2012. Berdasarkan Permenpera tersebut, harga rumah sejahtera tapak naik dari Rp70 juta menjadi Rp88 juta sampai Rp145 juta berdasarkan wilayah. Sementara itu, harga rumah sejahtera susun naik dari Rp144 juta menjadi Rp216 juta per unit.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo, menyambut baik keluarnya permenpera baru ini. Menurutnya, hal tersebut sesuai dengan kondisi sebenarnya.
“Jadi, ini bukan kenaikan harga rumah, tapi memang ada penyesuaian mengingat tipe rumah yang diminta adalah 36 meter persegi. Kalau pakai Permenpera No 4 dan 5, yaitu harga Rp 70 juta, itu tidak bisa,” katanya.

Eddy mengaku gembira dengan keluarnya peraturan baru ini. Hal tersebut akan dapat membantu pengembang memasarkan kembali rumah-rumah tipe 36 dengan harga di atas Rp70 juta.
“Selama ini kami terganjal peraturan tersebut yang mengakibatkan akad rumah terhenti. Dengan demikian, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang memiliki kemampuan membeli rumah tipe 36 meter persegi bisa mendapatkan subsidi dari pemerintah,” katanya.
Namun, peraturan baru ini membuat MBR yang hanya sanggup membeli rumah Rp70 juta ke bawah tetap tidak dapat subsidi. Pasalnya, pembangunan rumah di bawah ukuran tipe 36 meter persegi dilarang. “Ibaratnya, MBR ini paling apes karena tidak dapat subsidi, padahal kemampuannya segitu,” ujarnya. (net/jpnn) Sumber

Jumat, 15 Juni 2012

KEADILAN BAGI "SEGENAP" RAKYAT INDONESIA

ilustrasi
Pemerataan di Indonesia Masalah Serius
JAKARTA, (PRLM).- Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun tidak diikuti oleh pemerataan. Akibatnya, saat ini banyak orang kaya sekali tetapi sebaliknya banyak juga masyarakat di bawah yang ekonominya tidak membaik.
"Pemerintah tidak bohong, memang pertumbuhan ekonomi kita positif. Income per kapita sudah naik di atas 3000 dolar AS. Tapi ekonomi masyarakat di bawah tidak banyak berubah. Pemerataan ini masalah serius," kata Siswono Yudohusodo, mantan menteri Perumahan Rakyat dan Menteri Transmigrasi, di Hotel Crowne Plaza, Jakarta, Kamis (28/6).
Ia mengatakan hal itu saat menjawab pertanyaan mahasiswa pada seminar bertema "Tantangan dan Peluang Perekonomian Nasional" yang diselenggarakan Persatuan Mahasiswa Bandung (PMB). Pembicara lainnya adalah ekonom Muslimin Nasution, mentan Menteri Keuangan Bambang Subianto, dan pengusaha Arifin Panigoro.
Siswono mengatakan, berbagai upaya harus dilakukan bangsa Indonesia, tidak hanya pemerintah, tetapi juga warga negara. Seperti dalam pemilikan aset bangsa yang dikuasai asing, sesungguhnya bisa dikembalikan pemilikannya menjadi milik nasional.
Dia memberi contoh perusahaan di Malaysia yang sudah dikuasai Inggris, akhirnya bisa kembali jadi milik Malaysia melalui oembelian saham. Demikian pula, pemilikan PT Karimun Granite, perusahaan yang memasok batu sebayak 70 persen ke Singapura, kini menjadi milik Indonesia melalui Usman Sapta Odang yang membeli saham tersebut.
Siswono juga menjawab pertanyaan tentang hasil survei yang menyebutkan Indonesia merupakan negara gagal. Survei The Fund for Peace (FFP) tentang Failed State Index (FSI) menempatkan Indonesia di posisi ke-63 dari 178 negara dalam indeks negara gagal.
Peringkat 178 negara gagal ini diurutkan berdasarkan 12 indikator, dan lebih dari 100 sub-indikator, termasuk isu-isu seperti pembangunan tidak merata, legitimasi negara, dan HAM.
Setiap indikator dinilai pada skala 1-10, berdasarkan analisis dari jutaan dokumen yang tersedia untuk publik, data kuantitatif lain, dan penilaian para analis.
Peringkat puncak ditempati Somalia dengan alasan pelanggaran hukum meluas, pemerintah tidak efektif, terorisme, pemberontakan, kejahatan, dan serangan aksi bajak laut terhadap kapal-kapal asing.
Menurut Siswono, Indonesia bukan negara gagal karena semua negara yang disurvei diurutkan berdasarkan potensinya. "Namun, Indonesia harus terus membangun, bekerja keras," ujarnya.
Seperti diketahui, dari 178 negara yang disurvei, Indonesia menduduki urutan 63. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Thailand (84), Vietnam (96), Malaysia (110), Brunei Darussalam (123), dan Singapura (157). Namun, Indonesia unggul dibandingkan Myanmar (21), Timor Leste (28), Kamboja (37), Laos (48), dan Filipina (56).

Sementara, Finlandia tetap dalam posisi terbaik, disusul Swedia dan Denmark.
Tiga negara ini dinilai baik dari indikator sosial dan ekonomi yang kuat, pelayanan publik yang sangat baik, serta menghormati hak asasi manusia dan supremasi hukum.

Dari kesimpulan seminar disebutkan bahwa dalam pertumbuhan ekonomi sebagai hasil pembangunan ekonomi, ternyata masih menjadi kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan. Keterbatasan lapangan pekerjaan, pergeseran pemanfaatan dan pemilikan lahan, terbatasnya permodalan, serta rendahnya kualitas SDM.
Salah satu upaya untuk mengatasi hal itu adalah pendekatan pembangunan harus difokuskan kembali pada sektor pertanian dan pembangunan kawasan pertanian di pedesaan. (A-78/A-89)***