ilustrasi |
JAKARTA,
(PRLM).- Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
namun tidak diikuti oleh pemerataan. Akibatnya, saat ini banyak orang
kaya sekali tetapi sebaliknya banyak juga masyarakat di bawah yang
ekonominya tidak membaik.
"Pemerintah
tidak bohong, memang pertumbuhan ekonomi kita positif. Income per
kapita sudah naik di atas 3000 dolar AS. Tapi ekonomi masyarakat di
bawah tidak banyak berubah. Pemerataan ini masalah serius," kata Siswono
Yudohusodo, mantan menteri Perumahan Rakyat dan Menteri Transmigrasi,
di Hotel Crowne Plaza, Jakarta, Kamis (28/6).
Ia
mengatakan hal itu saat menjawab pertanyaan mahasiswa pada seminar
bertema "Tantangan dan Peluang Perekonomian Nasional" yang
diselenggarakan Persatuan Mahasiswa Bandung (PMB). Pembicara lainnya
adalah ekonom Muslimin Nasution, mentan Menteri Keuangan Bambang
Subianto, dan pengusaha Arifin Panigoro.
Siswono
mengatakan, berbagai upaya harus dilakukan bangsa Indonesia, tidak
hanya pemerintah, tetapi juga warga negara. Seperti dalam pemilikan aset
bangsa yang dikuasai asing, sesungguhnya bisa dikembalikan pemilikannya
menjadi milik nasional.
Dia
memberi contoh perusahaan di Malaysia yang sudah dikuasai Inggris,
akhirnya bisa kembali jadi milik Malaysia melalui oembelian saham.
Demikian pula, pemilikan PT Karimun Granite, perusahaan yang memasok
batu sebayak 70 persen ke Singapura, kini menjadi milik Indonesia
melalui Usman Sapta Odang yang membeli saham tersebut.
Siswono
juga menjawab pertanyaan tentang hasil survei yang menyebutkan
Indonesia merupakan negara gagal. Survei The Fund for Peace (FFP)
tentang Failed State Index (FSI) menempatkan Indonesia di posisi ke-63
dari 178 negara dalam indeks negara gagal.
Peringkat
178 negara gagal ini diurutkan berdasarkan 12 indikator, dan lebih dari
100 sub-indikator, termasuk isu-isu seperti pembangunan tidak merata,
legitimasi negara, dan HAM.
Setiap
indikator dinilai pada skala 1-10, berdasarkan analisis dari jutaan
dokumen yang tersedia untuk publik, data kuantitatif lain, dan penilaian
para analis.
Peringkat
puncak ditempati Somalia dengan alasan pelanggaran hukum meluas,
pemerintah tidak efektif, terorisme, pemberontakan, kejahatan, dan
serangan aksi bajak laut terhadap kapal-kapal asing.
Menurut
Siswono, Indonesia bukan negara gagal karena semua negara yang disurvei
diurutkan berdasarkan potensinya. "Namun, Indonesia harus terus
membangun, bekerja keras," ujarnya.
Seperti
diketahui, dari 178 negara yang disurvei, Indonesia menduduki urutan
63. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Thailand (84),
Vietnam (96), Malaysia (110), Brunei Darussalam (123), dan Singapura
(157). Namun, Indonesia unggul dibandingkan Myanmar (21), Timor Leste
(28), Kamboja (37), Laos (48), dan Filipina (56).
Sementara, Finlandia tetap dalam posisi terbaik, disusul Swedia dan Denmark.
Tiga negara ini dinilai baik dari
indikator sosial dan ekonomi yang kuat, pelayanan publik yang sangat
baik, serta menghormati hak asasi manusia dan supremasi hukum.
Dari
kesimpulan seminar disebutkan bahwa dalam pertumbuhan ekonomi sebagai
hasil pembangunan ekonomi, ternyata masih menjadi kesenjangan antara
pedesaan dan perkotaan. Keterbatasan lapangan pekerjaan, pergeseran
pemanfaatan dan pemilikan lahan, terbatasnya permodalan, serta rendahnya
kualitas SDM.
Salah
satu upaya untuk mengatasi hal itu adalah pendekatan pembangunan harus
difokuskan kembali pada sektor pertanian dan pembangunan kawasan
pertanian di pedesaan. (A-78/A-89)***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar